Tanah Garapan Jadi Rebutan

Penguasaan Lahan Ex Perkebunan Teh PTPN III

Konflik perkebutan pengelolaan hak garap atas tanah Negara berstatus Hak Guna Usaha (HGU) antara PT. Perkebunan Nusantara III Bogor (PTPN) yang dikenal GUNUNG MAS dengan warga masyarakat di 6 Desa yaitu Desa Tugu Selatan, Cebeureum, Citeko, Cisarua, Kopo, Kuta yang berada di 2 kecamatan; Cisarua dan Megamendung, hingga kini belum mampu terselesaikan dengan baik.

Konflik terjadi mulai tahun 1997, pada saat itu Hak Garap yang di kuasai oleh PTPN habis masa berlakunya (25 tahun); Masyarakat menilai bahwa dengan berahirnya masa berlaku sertifikat hak garap tersebut dan belum terbitnya serifikat untuk perpanjangan hak garap, maka tanah Negara seakan menjadi tidak bertuan.

Oleh karenanya warga masyarakat berbondong-bondong menguasai lahan ex Perkebunan Teh PTPN III seluas hingga sekitar 367 hektar dari 1,6 ribu hektar.

Lahan seluas 1,6 ribu hektar yang di akui merupakan hak garap PTPN, yan terdiri dari 600 hentar diperuntukan area perkebunan teh, 20 hektar digunakan untuk perumahan karyawan, 160 hektar di Tanami kayu manis, 6 hektar untuk penghijauan, sisanya untuk sarana wisata dan termasuk yang di kuasai oleh masyarakat.

Sertifikat Hak Garap

Pihak PTPN saat ini mengakui telah memiliki kembali sertifikat atas pengelolaan tanah garapan tersebut dengan nomor sertifikat 266–300 atau sebanyak 35 Sertifikat dengan status Hak Guna usaha (HGU) nomor 56/HGU/BPN/2004, tanggal 11 September 2004.

Melalui biro hukumnya (Gunawan) PTPN akan mengupayakan untuk mengambil alih tanah garapan yang sudah di kuasai oleh masyarakat dan upaya atau langkah-langkah kearah tersebut telah di lakukan dengan tahapan melakukan sosialiasasi kepada para kepala desa di 6 desa yang terdapat sebaran tanah garapan yang di akui hak garap PTPN. Secara untuk selanjutnya pihak PTPN juga akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat penggarap

Namun menurut kepala desa Kopo (Endang Somantri) para kepala desa hingga saat ini belum pernah melihat apalagi menerima foto copy sertikat HGU sebagaimana yang dituturkan pihak PTPN, hal senada juga disampaikan oleh KH. Dayat ketua LSM WAKAL (Warga Kadeudeuh Lingkungan) yang menghipun masyarakat penggarap.

Memanfaatkan Lahan Tidur

Lahan garapan masyarakat yang dihimpun LSM WAKAL seluas 14 hektar, saat ini ditanami pohon jeruk dan diperkirakan 2,5 tahun kedepan baru bisa panen.

Menurut KH. Dayat, masyarakat penggarap tidak bermaksud ingin memiliki atau merebuk yang memiliki hak garap legal, masyarakat hanya memanfaatkan lahan tidur yang tidak jelas kepemilikan terlebih pada tahun 1997 PTPN sudah tidak lagi memiliki hak garap karena masa berlaku sertifikat HGU nya sudah habis.

Namun jikalau PTPN dapat membuktikan telah memiliki hak garap kembali sebagaimana yang diakuinya, maka masyarakat bersedia menyerahkan kembali pengelolaan lahan yang di garap akan tetapi dengan menunggu setelah pohon jeruknya panen atau balik modal agar masyarakat tidak dirugikan dan pihak PTPN pun bisa memiliki haknya kebali dengan mudah.

Harapan masyarakat yang harus di upayakan dan atau mendapat perhatian serius pihak PTPN adalah lahan garapan yang sudah dijadikan bangunan fisik permanen seperti villa-villa dsb.

Penelusuran ke Lokasi

Dari penelusuran kami kelokasi, tanah negara yang merupakan ex PTPN tidak hanya di kuasai fisiknya oleh masyarakat pedesaan setempat tapi tidak sedikit di kuasai oleh masyarakat perkotaan, para pejabat, pengusaha dll.

Hal ini bisa terjadi karena ada oknum masyarakat yang memanfaatkan kesempatan menguasai lahan bukan untuk digarap sendiri melainkan di jual kembali (istilah mereka oper alih garapan) dan titik persolan bukan hanya pada oknum masyarakat yang memperjual belikan saja melainkan juga sikap aparat desa setempat (kepala desa) yang memberi ruang terjadinya transaksi dibawah tangan karena yang menjadi dasar proses transaksi itu terjadi adanya surat keterangan hak garap dari kepala desa.

Yang memprihatinkan adalah status tanah seyogyanya hanya untuk Hak Guna Usaha (HGU) semacam perkebunan, pertanian atau tidak ada pembangunan fisik, pada kenyataannya tidak sedikit yang di bangun villa-villa mewah yang dikaryakan.

Selain melanggar ketentuan peraturan seperti kepres 114 tahun 1999, pempres 47 tahun 2008 terkait dengan tata ruang kawasan Bogor, Puncak, Cianjur yang berdampak pada fungsi resapan air juga menjadi persoalan serius pemerintah kabupaten Bogor khususnya.

Terlebih menteri KLH dalam kunjungannya meninjau kawasan Puncak Bogor menyikapi persoalan bertebarannya Villa-Villa yang berdiri di lahan Negara, menegaskan akan segera dilakukan pembongkaran.

Rachmat Yasin (RY) selaku bupati Bogor dalam wawancara dengan Mata Kamera, mulai kepemimpinannya menyatakan :

· Tidak akan ada izin baru untuk pembangunan villa-villa di kawasan puncak,

· Akan melakukan peneritiban terhadap keberadaan villa liar yang sudah ada; Namun untuk hal ini di akui yang menjadi pokok persoalan pemerintah kabupaten Bogor adalah menyangkut nasib para pekerja yang menggantungkan hidup dari keberadaan villa-villa tersebut.

Kunci Masalah dan Penyelesaian

Titik persoalan perebutan tanah garapan antara PTPN dengan Masyaakat adalah:

· Selama PTPN mempunyai hak garap, dari luas area 1,6 hektar yang tersebar di dua kecamatan dan 6 Desa, tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, sehingga terdapat banyak lahan tidur.

· PTPN disatu sisi mengaku memiliki hak garap, akan tetapi dasar hokum atau bukti hak garapnya tidak pernah diperlihatkan terlebih diberikan foto copynya kepada masyarakat dan atau paling tidak kepada para kepala desa setempat.

· Aparat desa (Kepala Desa) tidak memiliki pengetahuan yang memadai masalah pertanahan sehingga tanpa disadari sudah memberi ruang penyalahgunaan hak dengan mengeluarkan surat keterangan hak garap sehingga dijadikan dasar hokum oknum masyarakat untuk melakukan trnsaksi oper alih garapan.

· Aparat desa tidak pernah melakukan pengawasan terhadap perkembangan pembangunan di wilatahnya, sehingga banyak berdiri vbangunan fisik di atas lahan tanah garapan berstatus HGU.

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka harus ada upaya serius dari pemeritah kabupaten Bogor berkoordinasi dengan pihak BPN (Badan Pertanahan Negara);

· Mengklarifikasi kebenaran tentang pengakuan PTPN berkenaan dengan sertifikat hak garap nomor 226 sd 300 HGU nomor 56/HGU/BPT/2004

· Jika benar bahwa PTPN masih memilik hak garap atas tanah negara tersebut, maka harus ada upaya sosialisasi dan pemahaman proses perizinan pertanahan kepada masyarakat melalui pemerintahan desa.

· Terhadap pelanggaran yang sudah terjadi, pemerintah harus punya sikap tegas terutama keberadaan bangunan-bangunan fisik diatas tanah Negara sebagaimana ketentuan hokum yang berlaku. Agar pemeintah punya wibawa dimata masyarakat secara umum.

Tidak ada komentar: